Wednesday, March 28, 2012

Penentuan Reducing Sugar Metode Lane Eynon (hidrolisa)

1.    Judul Praktikum :
Penentuan Reducing Sugar Metode Lane Eynon (hidrolisa)

2.    Tanggal Praktikum :
Jumat, 23 Maret 2012

3.    Tujuan Praktikum :
a.      Tujuan Umum
Mengetahui adanya kadar gula pereduksi pada bahan pangan dengan metode Lane-Eynon.
b.      Tujuan Khusus
-            Menggunakan metode Lane-Eynon dengan cara hidrolisa.
-  Memahami reaksi–reaksi yang terjadi pada senyawa karbohidrat dengan metode Lane-Eynon.
-            Menghitung kadar gula pada bahan pangan dengan menggunakan tabel reducing sugar

4.     Prinsip
Gula mereduksi Cupro (Cu2+) dalam suasana alkali. Setelah semua kuper direduksi, gula akan mereduksi methylen blue menjadi methylen white.

5.    Reaksi :
- 2 Cu2+ + 2 OH- + 2e à Cu2O + H2O
- RCHO + 2OH- à RCOOH + H2O + 2e
- RCHO + 2 Cu2 + 4OH- à RCOOH + Cu2O + 2 H2O

6.    Tinjauan Pustaka :
Karbohidrat merupakan senyawa polihidroksiketon atau polihidroksialdehid yang mengandung unsur karbon, hidrogen, dan oksigen. Karbohidrat sangatlah beragam sifatnya. Salah satu perbedaan utama antara berbagai tipe karbohidrat adalah tipe molekulnya. Berbagai senyawa yang termasuk karbohidrat mempunyai berat molekul yang berbeda yaitu dari senyawa yang sederhana yang mempunyai berat molekul 90 hingga 50.000 bahkan lebih.  Berbagai senyawa tersebut digolongkan menjadi tiga golongan yaitu golongan monosakarida, disakarida dan polisakarida.
Sebagian karbohidrat  bersifat gula pereduksi. Gula pereduksi adalah golongan gula (karbohidrat) yang dapat mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron. Contohnya adalah glukosa dan fruktosa. Ujung dari suatu gula pereduksi adalah ujung yang mengandung gugus aldehida atau keton bebas. Semua monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa) dan disakarida (laktosa,maltosa), kecuali sukrosa dan pati (polisakarida), termasuk sebagai gula pereduksi.
Umumnya gula pereduksi yang dihasilkan berhubungan erat dengan aktivitas enzim, di mana semakin tinggi aktifitas enzim maka semakin tinggi pula gula pereduksi yang dihasilkan. Jumlah gula pereduksi yang dihasilkan selama reaksi diukur dengan menggunakan pereaksi asam dinitro salisilat/dinitrosalycilic acid (DNS) pada panjang gelombang 540 nm. Semakin tinggi nilai absorbansi yang dihasilkan, semakin banyak pula gula pereduksi yang terkandung.
Gugus aldehida atau gugus keton monosakarida dapat direduksi secara secara kimia menjadi , misalnya D-sorbito yang berasal dari D-glukosa.
Contoh gula nonpereduksi: sukrosa, rafinosa, stakiosa, dan verbakosa. Sukrosa tidak mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C-1 pada gugus glukosanya, karena itu laktosa bersifat pereduksi sedangkan sukrosa bersifat nonpereduksi.
Fruktosa dikatakan gula non pereduksi, padahal dalam faktanya fruktosa adalah gula pereduksi karena mengandung gugus ketosa. Tetapi, gugus ketosa pada atom C no 2 fruktosa ini menyebabkan fruktosa tidak mempunyai atom H yang dapat mereduksi reagen, yang artinya fruktosa tidak dapat mereduksi reagen, sehingga fruktosa merupakan gula non pereduksi.
Beberapa metode kimia untuk penentuan monosakarida dan oligosakarida dipisahkan berdasarkan banyaknya agen perduksi yang dapat bereaksi dengan senyawa lain untuk diendapkan atau membentuk warna secara kuantitatif . Konsentrasi dari karbohidrat dapat ditentukan dengan metode gravimetri , spektrofometri, dan titrasi volumetri.
Penentuan gula dengan metode Lane-Eynon adalah dengan cara menitrasi reagen Soxhlet (larutan CuSO4, K-Na-tartat) dengan larutan gula yang diselidiki. Banyaknya larutan contoh yang dibutuhkan untuk menitrasi reagen Soxhlet dapatdiketahui banyaknya gula yang ada dengan melihat pada tabel Lane-Eynon. Agar diperoleh penentuan yang tepat maka reagen Soxhlet perlu distandarisasi dengan larutan gula standar. Standarisasi ini dikerjakan untuk menentukan besarnya faktor koreksi dalam menggunakan tabel Lane-Eynon.Pada titrasi reagen Soxhlet dengan larutan gula akan berakhir apabila warna larutan berubah dari biru menjadi tidak berwarna. Indikator yang digunakan pada cara ini adalah methilen biru.
Metode Lane-eynon adalah metode titrasi (volumetri) untuk penentuan gula pereduksi. Penentuan gula reduksi dengan metode ini didasarkan atas pengukuran standar yang dibutuhkan untuk mereduksi preaksi tembaga basa yang diketahui volumenya. Titik akhir titrasi ditunjukkan dengan hilangnya warna indikator metilen biru. Titik akhir titrasi merupakan jumlah yang dibutuhkan untuk mereduksi semua tembaga. (Apriyanto, 1989).
Titrasi lane eynon digunakan untuk menghitung kadar gula tereduksi. Melalui metode ini dapat diketahui sisa gula reduksi yang terdapat dalam larutan, sehingga dapat dihitung berapa konversi yang diperoleh.
Titrasi ini menggunakan indikator metilen biru. Perubahan warna yang terjadi adalah dari biru hingga semua warna biru hilang berganti menjadi kemerahan yang menandakan adanya endapan tembaga oksida. Warna dapat kembali menjadi biru karena teroksidasi oleh udara. Untuk mencegah hal tersebut, titrasi dilangsungkan dengan mendidihkan larutan yang dititrasi sehingga uap dapat mencegah kontak dengan udara dan mencegah terjadinya oksidasi kembali.
Metode ini didasarkan pada sifat aldehid dan keton yang dapat mereduksi larutan alkali, dalam hal ini digunakan tembaga tartrat yang dikenal sebagai larutan Fehling. Larutan Fehling yang digunakan merupakan campuran larutan tembaga sulfat dan laruta alkali tartrat. Gula reduksi merupakan reduktor kuat sedangkan Cu2+ merupakan oksidator lemah. Gula mereduksi Cu2+ membentuk endapan Cu2O yang berwarna merah bata.
Metode Lane-Eynon digunakan untuk menentukan dekstrosa , maltose dan gula terkait yang terkandung dalam sirup glukosa dengan cara mereduksi tembaga sulfat (CuSO4) dalam larutan fehling (Pancoast, 1980). Dalam pereaksi fehling ion Cu++ direduksi menjadi Cu+ yang dalam suasana basa akan diendapkan sebagai Cu2O
(Poedjiadi, 1994).
Metode Lane Eynon merupakan metode penentuan secara volumetri dengan pereaksi Fehling A dan Fehling B merupakan campuran garam saitgnette(C4H4KnaO6.4H2O) dan NaOH.
Gula Reduksi dengan larutan Fehling B akan membentuk enediol,yang kemudian enediol ini  akan bereaksi dengan ion kupri (Fehling A) akan membentuk ion kupro dan campuran dan campuran asam-asam. Selanjutnya ion kupro dalam suasana akan membentuk kupro oksida yang dalam keadaan panas mendidih akan mengendap menjadi endapan kupro oksida (Cu2O).
Terbentuknya endapan berwarna merah yaitu kupro oksida (Cu2O) akibat adanya reaksi reduksi oksidasi (redoks), gugus aldehid pada glukosa akan mereduksi ion tembaga (II) menjadi tembaga (I) oksida. Karena larutan bersifat basa, maka aldehid dengan sendirinya teroksidasi menjadi sebuah garam dari asam karboksilat yang sesuai. Persamaan untuk reaksi-reaksi ini selalu disederhanakan untuk menghindari keharusan menuliskan ion tartrat atau sitrat pada kompleks tembaga dalam rumus struktur. 

7.    Alat dan Bahan :
a.      Alat :                                                        b.  Bahan :
- Kompor listrik                                             - Jeruk
- Gelas kimia                                                - Larutan Fehling 1 (CuSO4)
- Gelas arloji                                                 - Larutan Fehling 2 (KOH dan Kna Tartrat)
- Gelas ukur                                                  - Akuades
- Mortar                                                        - HCl pekat
- Labu seukuran                                            - Bromthymol blue (BTB) 2%
- Buret dan klem buret                                 - Na2CO3 10%
- Erlenmeyer                                                - Methylen blue (MB) 2%
- Pipet tetes
- Pipet volumetrik
- Red ball
- Corong
- Kertas saring
- Batang pengaduk
8.    Prosedur Praktikum         :
a.      Timbang dengan teliti 5 gr bahan, haluskan dengan mortar.
b.      Tambahkan akuades 50 ml, masukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian tambahkan 2 ml HCl pekat, aduk hingga homogen.
c.       Panaskan dalam kompor selama 15 menit, dinginkan. Tambahkan indikator bromthymol blue 3 tetes.
d.      Netralkan dengan menambah Na2CO3 10% smpai larutan berwarna kehijauan.
e.      Pindahkan secara kuantitatif ke dalam labu seukuran 250 ml. Tambahkan H2O sampai tanda batas.
f.        Kocok sampai homogen kemudian disaring, filtrat ditampung.
g.      Masukkan 5 ml tepat larutan fehling 1 dan 5 ml larutan fehling 2 dalam erlenmeyer, kemudian kocok (homogenkan).
h.      Masukkan filtrat bahan ke dalam buret.
i.        Tambahkan larutan bahan 15 ml dari buret ke dalam erlenmeyer yang berisi larutan fehling 1 dan fehling 2. Panaskan sampai mendidih.
j.        Tambahkan 3 tetes methylen blue, jika terbentuk warna biru, titrasi dalam keadaan mendidih sampai warna biru hilang.

9.    Hasil Perhitungan :
 
6,71 %

10.    Pembahasan Hasil :
Dari hasil praktikum, penentuan kadar gula pereduksi dengan metode Lane-Eynon dapat diketahui setelah fehling 1 dan fehling 2 dan larutan bahan (jeruk) ditambahkan indikator methylen blue. Jika pada erlenmeyer terbentuk warna biru, maka larutan harus dititrasi kembali dengan larutan bahan (jeruk) dalam keadaan mendidih. Titrasi dilanjutkan sampai warna biru pada larutan hilang. Tetapi jika warna larutan tetap hijau setelah ditambahkan methylen blue, maka titrasi tidak perlu dilakukan. Hal itu dapat terjadi karena gula sudah mereduksi cupro (Cu2+). Dari hasil praktikum yang kami lakukan, larutan bahan (jeruk) tetap berwarna hijau setelah ditambahkan methylen blu sehingga tidak perlu dititrasi lagi. Berarti gula pada jeruk sudah mereduksi cupro dalam keadaaan basa. Hasil perhitungan gula pereduksi pada air jeruk dengan menggunakan tabel reducing sugar yaitu sebesar 6,71 %.

11.    Kesimpulan :
Dari hasil praktikum diketahui bahwa pada jeruk terdapat kandungan gula pereduksi. Tetapi, pada metode hidrolisa ini, larutan jeruk tidak perlu dititrasi lagi. Gula sudah mereduksi cupro (Cu2+) dalam keadaan alkali. Dan didapatkan kandungan gula pereduksi pada jeruk sebesar 6,71 %.

12.    Daftar Pustaka :


Sunday, March 18, 2012

PENENTUAN KADAR KARBOHIDAT DENGAN METODE ANTHRONE




PENENTUAN KADAR KARBOHIDAT DENGAN METODE ANTHRONE


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kimia Pangan




·               Oleh :
·            Dessy Nursetiani Rahayu     P17331111025
·            Krisha Nurul Anindita        P17331111028





KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG
JURUSAN GIZI
2012





1.  Judul Praktikum :
Penentuan Kadar Karbohidrat dengan Metode Anthrone 

2.  Tanggal Praktikum :
Sabtu, 14 Maret 2012

3.  Tujuan Praktikum :

a.    Tujuan Umum
Mengetahui adanya kadar gula secara total, baik gula pereduksi maupun non pereduksi pada bahan pangan dengan metode Anthrone.

b.    Tujuan Khusus
-     Menggunakan metode Anthrone dengan cara hidrolisa.
-     Memahami reaksi–reaksi yang terjadi pada senyawa karbohidrat dengan metode Anthrone.
-     Mengukur penyerapan  warna yang terbentuk dengan spektrofotometer.
-     Menghitung kadar gula pada bahan pangan dengan menggunakan kurva standar.

4.   Prinsip

Anthrone, 9,10 dehidro-9 ketoanthrone bereaksi dengan karbohidrat membentuk warna biru kehijauan. Warna yang dibentuk diukur serapannya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm.

5.  Reaksi :

 




                      



6.  Tinjauan Pustaka :

Karbohidrat adalah penyumbang utama dari komponen yang membentuk produk pangan baik sebagai komponen alami maupun bahan yang ditambahkan. Penggunaannya sangat luas dan jumlah penggunaannya cukup besar (Fennema 1996) baik untuk pemanis, pengental, penstabil, gelling agents dan fat replacer (Christian dan Vaclavik 2003). Karbohidrat dapat dimodifikasi baik secara kimia dan biokimia dan modifikasi itu digunakan untuk memperbaiki sifat dan memperluas penggunaannya.
Karbohidrat digunakan dalam kimia untuk senyawa dengan formula Cm(H2O)n, tetapi kini rumus molekul itu tidak secara kaku digunakan untuk mendefinisikan karbohidrat (Kennedy dan White 1988). Sebelumnya beberapa ahli kimia memasukkan formaldehid dan glikoaldehid sebagai karbohidrat, namun sekarang istilah karbohidrat dalam biokimia, tidak mengikutsertakan senyawa yang kurang dari tiga atom karbon. Southgate (1978) menggunakan definisi karbohidrat sebagai senyawa yang tersusun oleh polihidroksi aldehid, keton, alkohol, asam dan turunan sederhananya serta polimernya yang memiliki ikatan polimer tipe asetal.
Total karbohidrat yang ada dalam bahan pangan perlu diketahui dengan alasan: standards of identity (pangan harus memiliki komposisi yang sesuai dengan regulasi pemerintah); nutritional labelling (menginformasi konsumen mengenai kadar nutrisi dalam bahan pangan); detection of adulteration (tiap tipe pangan memiliki 'fingerprint' karbohidrat); food quality (sifat fisikokimia dari pangan seperti kemanisan, penampakan, stabilitas dan tekstur tergantung tipe dan stabilitas karbohidrat yang ada); ekonomi (agar lebih dapat menghemat biaya produksi bahan yang  digunakan pada industri) dan food processing (efisiensi dari proses pangan banyak tergantung pada jenis dan kadar karbohidrat). Dalam berbagai studi mengenai bahan makanan penting untuk mengetahui persentasi kadar karbohidrat pada pangan yang diujikan sehingga nilai karbohidrat pada bahan lain dapat dikonversi menjadi nilai total pangan.
Total karbohidrat atau total karbohidrat menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (2005) meliputi gula, pati, serat pangan dan komponen karbohidrat lain. Pernyataan jumlah total karbohidrat dalam gram penyajian yang dinyatakan dengan nilai gram terdekat, jika penyajian kurang dari 0,5 gram, jumlah kadarnya dapat dinyatakan sebagai nol dan jika penyajian lebih dari 0,5 gram dibulatkan ke kelipatan 1 gram terdekat. Total karbohidrat dapat dinyatakan dengan total karbohidrat by difference.
Total karbohidrat dalam pengukuran karbohidrat dengan metode langsung dinyatakan dalam bentuk persen yang setara dengan glukosa. Satuan glukosa (glucose equivalent) juga dapat diganti dengan larutan gula lain yang dijadikan sebagai larutan standar.
Metode yang telah dikembangkan untuk analisis karbohidrat sangat banyak, dan tergantung juga oleh jenis analisis (kuantitatif atau kualitatif) dan tipe karbohidrat yang dianalisis. Sehingga metode pengukuran karbohidrat sangat beragam mulai dari metode kromatografi dan elektroforesis (Kromatografi Lapis Tipis, Kromatografi Likuid Kinerja Tinggi dan Kromatografi Gas); metode kimia (metode titrasi Lane Eynon, metode gravimetri Munson Walker, metode Luff Schoorl, metode kolorimetri seperti anthrone sulfat dan fenol sulfat); metode enzimatis; metode fisik (polarimetri, indeks refraktif, densitas dan infra merah) serta metode immunoassay.
Penggunaan Metode Anthrone untuk analisis total karbohidrat mulai berkembang sejak penggunaan pertama kali oleh Dreywood pada tahun 1946 untuk uji kualitatif. Dasar dari reaksi ini adalah kemampuan karbohidrat untuk membentuk turunan furfural dengan keberadaan asam dan panas, yang kemudian diikuti dengan reaksi dengan anthrone yang menghasilkan warna biru kehijauan (Sattler dan Zerban 1948) dalam Brooks et al (1986).
Anthrone, C6H4COC6H4CH2, adalah turunan dari anthraquinone. Senyawa ini diproduksi oleh reduksi katalitik dari anthraquinone oleh asam hidroklorat dengan keberadaan logam timah. Senyawa ini mungkin ada dalam bentuk keto atau enol, yang masing-masing dikenal dengan nama anthrone and anthranol.
Mekanisme pembentukan warna anthrone dengan gula telah diteliti. Hurd dan Isenhour (1932) dan Wolfrom et al (1948) mempostulasikan bahwa karbohidrat dan turunannya mengalami pembentukan cincin dalam keberadaan asam kuat dari mineral, seperti yang ditunjukkan untuk glukosa.
Tiap tahap adalah pemecahan dari glukosa(I) menjadi 5-(hydroxymethyl)-2-furaldehyde(IV) menunjukkan dehidrasi baik pada double bond atau pembentukan cincin. Wolfrom et al. (1948) menunjukkan bukti spektroskopik untuk senyawa intermediate (II) dan (III) pada reaksi ini Sattler 8 and Zerban (1948) menyarankan bahwa pembentukan warna hijau pada reaksi anthrone tergantung oleh keberadaan 5-(hidroksimetil)-2-furaldehid, atau senyawa furfural yang mirip, yang dibentuk oleh reaksi asam sulfat pada karbohidrat.
Momose et al. (1957) melakukan kromatografi pada ekstrak benzene dari pewarna terhadap alumina dan menunjukkan bahwa bagian yang dapat larut dari benzene-terdiri dari beberapa pewarna yang memberikan pewarnaan yang berbeda dengan asam sulfat. Mereka menentukan berat molekul dari salah satu pewarna utama yaitu kurang lebih 530, dan mempostulasikan formula dari pewarna itu (C47H30O3). Mereka menyimpulkan bahwa 3 mol anthrone bereaksi dengan 1 mol glukosa.
Dari data analisis dan spektrum inframerah dari pewarna, dan mekanisme reaksinya dipertimbangkan, mereka menduga struktur yang mungkin adalah 1,2,5,-atau 1,3,5,-trianthronylidenepentane.
Ludwig dan Goldberg (1956) melaporkan adaptasi dari Metode Anthrone kolorimetri untuk analisis total karbohidrat secara kuantitatif pada pangan. Metode yang digunakan relatif cepat dan akurat serta lebih baik daripada metodologi analisis karbohidrat sebelumnya, yaitu metode
Somogyi-Shaffer-Hartmann yang menggunakan teknik teknik iodometri dan prinsip gula pereduksi. Mereka menunjukkan bahwa persiapan hidrolisis dan deproteinisasi tidak perlu dilakukan ketika teknik anthrone digunakan.
Uji Anthrone ini memiliki kelebihan dalam hal sensitifitas dan kesederhanaan ujinya (Koehler 1952).Sejumlah kecil karbohidrat dapat memberikan warna yang terdeteksi dengan menggunakan spektrofotometer. Dreywood (1946) melakukan uji spesifisitas dari reaksi dan membuat daftar 18 jenis karbohidrat, termasuk beberapa turunan selulosa, yang memberikan hasil positif. Dia juga melaporkan hasil negatif terhadap kelompok besar nonkarbohidrat, termasuk sejumlah resin sintetik nonselulosa, asam organik, aldehid, fenol, lemak, terpena, alkaloid, dan protein. Nonkarbohidrat yang menunjukkan hasil positif hanya furfural, tetapi hasil positif ini cepat menghilang karena warna hijau dikaburkan oleh presipitat coklat. Morris (1948) juga menunjukkan spesifisitas anthrone untuk karbohidrat sangat tinggi, dan dia melaporkan reaksi positif untuk semua mono-, di-, dan polisakarida murni yang diujikan, juga sampel of dekstrin, dekstran, pati, polisakarida tumbuhan dan gum, polisakarida tipe II dan II dari pneumococcus, glukosida, dan senyawa asetat dari mono-, di-, dan polisakarida.
Kekurangan dari Metode Anthrone adalah ketidakstabilan dari reagen (anthrone yang dilarutkan dalam asam sulfat), sehingga perlu dilakukan persiapan reagen yang baru setiap hari.
Dreywood (1946) memperhatikan bahwa panas yang dihasilkan oleh pelarutan asam sulfat merupakan bagian yang penting dalam uji. Morris (1948) melihat signifikansi dari panas pada reaksi anthrone dan menunjukkan bahwa pada sejumlah karbohidrat yang diberikan, intensitas warna bervariasi dengan jumlah panas yang dihasilkan. Oleh karena itu kurva standar juga perlu dibuat setiap hari.
Nilai total karbohidrat tidak dapat dinyatakan dalam persen karbohidrat, tetapi lebih baik dinyatakan dengan istilah glucose equivalents per cent, karena kepekatan warna yang dihasilkan dari reaksi anthrone bervariasi dengan tipe gula yang ada. Kepekatan warna yang sama contohnya, ditunjukkan oleh 100 µg. glukosa, 105 µg. maltosa, dan 111 µg glikogen. Gula murni lain selain glukosa dapat dikalkulasi dengan faktor konversi. Tetapi jika terdapat campuran karbohidrat yang tidak diketahui pada bahan pangan faktor konversi itu tidak dapat digunakan, dan hasilnya bukan persentase karbohidrat absolut, melainkan ekuivalen glukosa, yang dapat bervariasi dari nilai persentasi karbohidrat yang sebenarnya dengan jumlah yang tidak dapat ditentukan. Keganjilan ini tidak signifikan ketika nilai glucose equivalents per cent digunakan hanya sebagai basis untuk mengkonversi nilai total karbohidrat menjadi nilai total pangan (Beck dan Bibby 1961). Untuk tujuan ini glucose equivalents per cent hanya sebagai indeks dari persentasi absolute dari masing-masing karbohidrat dalam pangan.









7.  Alat dan Bahan
a.  Alat
-     Gelas arloji
-     Kompor listrik
-     Gelas kimia
-     Gelas ukur
-     Mortar
-     Labu seukuran ukuran (250 ml, 100 ml)
-     Krustang
-     Pipet volumetrik 1 ml
-     Erlenmeyer
-     Pipet tetes
-     Red ball
-     Corong
-     Kertas saring
-     Batang pengaduk
-     Alat spektrofotometer
b.  Bahan
-  Larutan bahan (Ubi 5 gram)
-  Larutan anthrone (2 gram/1 dalam H2SO4 pekat)
-  Larutan standar glukosa
-    Akuades (H2O)
-   HCl pekat

8.   Prosedur Praktikum
a.    Timbang bahan sebanyak 5 gram + 3 ml HCL p tambahkan H2O sehingga volume mencapai 100 ml, kemudian pipet 5 ml bahan yang sudah disaring dilarutkan dalam 250 ml H2O.
b.    Pipet tepat 1 ml larutan bebas protein masukan kedalam tabung reaksi.
c.    Tambahkan 3 ml larutan anthrone , kocok hingga homogen.
d.    Tutup tabung reaksi dengan sebuah kelereng, panaskan tabung reaksi dalam penangas air mendidih selama 10 menit.
e.    Dinginkan dan baca intensitas warna yang terbentuk pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 620 nm.
f.     Buatlan blanko dengan prosedur yang sama hanya tanpa larutan bahan.
g.    Buat kurva standar glukosa dengan larutan standar dari berbagai konsentrasi (30 uq, 40 uq, 50 uq, 60 uq, 70 uq). Warna yang terbebtuk dibaca pada spektrofotometer.
9.  Hasil Perhitungan         :
Absorbansi (A) pada ubi            (bahan)         = 1,534 A
Absorbansi (A) pada blanko                  = 0,213 A
Data kadar larutan glukosa standar dengan absorban
Kelompok
Kadar larutan glukosa standar (µl/100 ml)
(x)
Absorbansi (A) pada glukosa standar=620 nm
(y)
1
10 µl
0,176
2
20 µl
0,354
3
30 µl
0,263
4
40 µl
0,250
5
50 µl
0,162
6
60 µl
0,371
7
70 µl
0,229
Jumlah
280 µl
1,805

Kurva standar hubungan kadar glukosa-absorbansi













A = 33,89
B = 23,67

1.    Y  = a +bx
           = 33,89 + 23,67 . 10
           = 270,59

2.    Y  = a +bx
           = 33,89 + 23,67 . 20
           = 507,29
3.    Y  = a + bx
           = 33,89 + 23,67 . 30
           = 743,99
4.    Y  = a + bx
           = 33,89 + 23,67 . 40
           = 980,69
5.    Y  = a + bx
           = 33,89 + 23,67 . 50
           = 1217,39

6.    Y  = a + bx
           = 33,89 + 23,67 . 60
           = 1454,09
7.    Y  = a + bx
           = 33,89 + 23,67 . 70
           = 1690,79














10.  Pembahasan Hasil :
Hasil dari praktikum yang telah dilakukan, penentuan kadar gula secara total dengan metode Anthrone dapat diketahui dengan terbentuknya warna biru kehijauan pada sampel yang di uji dan kemudian warna yang terbentuk diukur serapannya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Dari hasil praktikum yang kami lakukan, larutan bahan (ubi) berubah warna menjadi berwarna biru kehijauan setelah dipanaskan pada tabung reaksi dalam penangas air mendidih selama 10 menit, penggunaan penangas air ini agar tidak terjadinya penguapan yang berlebihan pada larutan bahan.  Selain itu, larutan bahan sebelumnya juga ditambahkan 3 ml HCL pekat dan 3 ml larutan anthrone. Penambahan HCL pekat ini agar proses hidrolisis pada pangan lebih cepat, juga berfungsi sebagai penarik protein dan lemak pada bahan pangan yang dapat mempengaruhi kadar gula.
Hasil dari pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer,  absorbansi pada larutan bahan (ubi) adalah 1,534 A, absorbansi pada blanko adalah 0,213 A. Sedangkan kadar larutan glukosa standar dengan absorban dapat dilihat pada data diatas. Tetapi, hasilnya ternyata tidak sesuai dimana seharusnya semakin tinggi kadarnya semakin tinggi pula absorbannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tejadinya ketidak sesuaian itu diantaranya, faktor penimbangan bahan yang kurang atau melebihi dari yang seharusnya, pemipetan yang tidak sesuai, faktor pengenceran yang terlalu pekat sehingga pembacaan warna absorbannya tinggi.

11.  Kesimpulan :
Dari hasil praktikum diketahui hasil dari pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer, absorbansi pada larutan bahan (ubi) adalah 1,534 A, absorbansi pada blanko adalah 0,213 A.  Nilai dari standar gula yang didapatkan menggunakan spektofotometer adalah 10 uq=0,176 A, 20 uq=0,354 A, 30uq=0,263 A, 40uq=0,250 A, 50uq=0,162 A, 60 uq=0,371 A, 70uq=0,229 A. Hasil yang didapatkan sangat tidak sesuai karena nilai absorbannya naik turun tidak stabil. Oleh karena itu, dibutuhkan perhitungan khusus agar bisa membuat kurva standar glukosa dan didapatkan hasil 10 uq=270,59 A, 20 uq=507,29 A, 30 uq=743,99 A, 40uq=980,69 A, 50 uq=1217,39 A, 60uq=1454,09 A, 70uq=1690,79 A. Pada hasil perhitungan tersebut dapat dibuat kurva garis lurus karena perbedaan nilai absorban yang cukup signifikan dalam setiap kenaikan konsentrasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tejadinya ketidak sesuaian itu diantaranya, faktor penimbangan bahan yang kurang atau melebihi dari yang seharusnya, pemipetan yang tidak sesuai, faktor pengenceran yang terlalu pekat sehingga pembacaan warna absorbannya tinggi.

12.  Daftar Pustaka :

-        http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/53643/BAB%20III%20Metodologi%20Penelitian.pdf

ASUHAN GIZI

. PEMERINTAH DAERAH PROVINSI...................... RSU ............................... FORMULIR CATATAN ASUH...